Langkah 1: Mempersiapkan diri sebelumnya dan mengarahkan hati sewaktu mengikuti liturgi
Untuk menghayati liturgi, kita harus sungguh mempersiapkan diri sebelum mengambil bagian di dalamnya. Contohnya ialah: membaca dan merenungkan bacaan Kitab Suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang lebih awal, berpuasa (1 jam sebelum menyambut Ekaristi dan terutama berpuasa sebelum menerima sakramen Pembaptisan dan Penguatan), memeriksa batin, jika dalam keadaan dosa berat, melakukan pengakuan dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima Ekaristi.
Lalu, sewaktu mengikuti liturgi, kitapun harus selalu mempunyai sikap hati yang benar. Jika terjadi ‘pelanturan’, segeralah kembali mengarahkan hati kepada Tuhan. Kita harus mengarahkan akal budi kita untuk menerima dengan iman bahwa Yesus sendirilah yang bekerja melalui liturgi, dan Roh KudusNya yang menghidupkan kata-kata doa dan Sabda Tuhan di dalam liturgi, sehingga menguduskan tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan di dalamnya untuk mendatangkan rahmat Tuhan. Sikap hati yang baik ini juga diwujudkan dengan berpakaian sopan, tidak ‘ngobrol’, dan tidak menggunakan handphone ataupun ber-BBM di gereja. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah pada Tuhan.
Langkah 2: Bersikap aktif: tidak hanya menerima tapi juga memberi kepada Tuhan
St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi (lih. St. Thomas Aquinas, Summa Theology, III, q.63, a.2.). Di dalam liturgi, penyembahan kepada Tuhan mencapai puncaknya, saat Kristus bersama dengan kita mempersembahkan diri kepada Bapa dan pada saat kita menerima buah penebusan Kristus melalui Misteri Paska-Nya. Puncak liturgi adalah Ekaristi, di mana di dalamnya Kristus menjadi Imam Agung, dan sekaligus Kurban penebus dosa. (KGK 1348, 1364,1365)
Dalam perayaan Ekaristi, kita seharusnya tidak hanya menonton atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian di dalam peran Kristus sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri kita, beserta ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban Kristus (lih. Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73). Setiap kali menghadiri misa, kita bawa segala kurban persembahan kita untuk diangkat ke hadirat Tuhan, terutama pada saat konsekrasi -saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Saat itu kurban kita disatukan dengan kurban Yesus. Liturgi menjadi penyembahan yang sempurna, sebab Kristus, satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Bersama Yesus di dalam liturgi, kita akan dapat menyembah Allah Bapa di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), karena di dalam liturgi Roh Kudus bekerja menghadirkan Kristus, Sang Kebenaran itu sendiri.
Kehadiran Yesus tidak hanya terjadi di dalam Ekaristi, tetapi juga di dalam liturgi yang lain, yaitu Pembaptisan, Penguatan, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Pengurapan orang sakit. Dalam liturgi tersebut, kita harus berusaha untuk aktif berpartisipasi agar dapat sungguh menghayati maknanya. Partisipasi aktif ini bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan terutama partisipasi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan segala perkataan yang diucapkan di dalam hati.
Langkah 3: Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus
Jadi, untuk menghayati liturgi, kita harus memusatkan perhatian kepada Kristus, dan kepada apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita, yaitu: karena kasih-Nya kepada kita, Kristus rela wafat untuk menghapus dosa-dosa kita. Yesus sendiri hadir di dalam liturgi dan berbicara kepada kita. Dengan berfokus kepada Kristus, kita akan memperoleh kekuatan baru, sebab segala pergumulan kita akan nampak tak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun akan dikuatkan di dalam pengharapan karena Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Kristus dapat pula membangkitkan kita dari dosa dan segala kesulitan kita.
Jika kita memusatkan hati dan pikiran kepada Kristus, maka kita tidak akan terlalu terpengaruh dengan musik atau koor yang kurang sempurna, khotbah yang kurang bersemangat, hawa panas ataupun banyak nyamuk -walaupun tentu saja, idealnya semua itu diperbaiki ataupun diatasi. Kita bahkan dapat mempersembahkan kesetiaan kita di samping segala ketidaksempurnaan itu sebagai kurban yang murni bagi Tuhan. Langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kita lakukan untuk turut membantu memperbaiki kondisi tersebut. Inilah salah satu cara menghasilkan ‘buah’ dari rahmat Tuhan yang kita terima melalui liturgi.
Perhatian kepada Kristus akan mengarahkan kita untuk bersikap dan berpakaian yang pantas di gereja. Kita tidak akan berpakaian minim seperti dengan rok mini, celana pendek ataupun celana leggings, baju tanpa lengan atau bahkan tank top, dengan potongan leher rendah dan model yang terbuka. Penghormatan kepada Kristus mendorong kita untuk tidak memakai sandal jepit ataupun selop santai ke gereja, jika sebenarnya kita mempunyai sepatu. Cara berpakaian seenaknya sebenarnya menunjukkan bahwa kita tidak sungguh menghayati, kepada Siapakah sebenarnya kita datang menghadap. Jangan sampai cara berpakaian kita malah menarik perhatian banyak orang kepada kita, dan dengan demikian kita menjadi batu sandungan bagi orang lain yang ingin memusatkan perhatian kepada Tuhan. Semoga hal ini dapat menjadi permenungan; dan para orang tuapun dapat memberikan contoh yang baik dan mendorong anak- anak agar berpakaian yang sopan ke gereja. Sudah selayaknya kita ingat bahwa penghayatan iman di dalam hati akan terpancar ke luar dengan sendirinya. Jika kita tidak bisa berpakaian dengan sopan dan hormat, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita mempunyai sikap batin yang baik di hadapan Tuhan?
Tahap selanjutnya adalah, mari belajar untuk sungguh berdoa pada saat kita mengucapkan doa dalam liturgi. Jangan sampai kata-kata yang kita ucapkan merupakan kata-kata kosong, artinya hanya di mulut saja, tetapi tidak sungguh keluar dari hati. Kita perlu memohon rahmat Tuhan untuk hal ini, namun juga kita harus mengusahakannya dengan mengarahkan hati, dan mempersiapkan diri dengan lebih sungguh, sebagaimana telah disebut di atas.
Demikianlah, mari kita memberikan sikap batin yang lebih baik di dalam liturgi. Mengapa ini penting? Sebab dengan sikap batin yang baik, kita akan menerima efek yang penuh dari liturgi. Konsili Vatikan II mengajarkan, “… Supaya liturgi dapat menghasilkan efek yang penuh, adalah penting bahwa umat beriman datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya (lih. 2 Kor 6:1).” (Sacrosanctum Concillium 11) Tentu tak ada satupun dari kita yang mau menerima rahmat Tuhan dengan sia-sia. Kita semua ingin menerima buah-buah liturgi suci di dalam hidup kita. Maka, mari kita datang dengan sikap batin yang baik, terutama dalam perayaan Ekaristi yang setiap minggu atau bahkan setiap hari kita hadiri.
Sumber online
http://www.katolisitas.org/9310/bagaimana-sikap-kita-di-dalam-liturgi